[Pengkajian]: Bahasa Indonesia di Arena Politik Media Sosial: Penggunaan Bahasa Indonesia dalam Kampanye Politik, Ujaran Kebencian, dan Polarisasi
1. Latar
Belakang
Bahasa Indonesia pada hakikatnya merupakan sarana komunikasi untuk
mewujudkan hubungan yang harmonis antar sesama. Namun, dalam praktiknya, bahasa
kerap digunakan secara negatif, misalnya melalui ujaran kebencian. Penelitian
Fadhlurrohman, dkk. (2024) menunjukkan bahwa ujaran kebencian di media sosial
tidak hanya bertentangan dengan prinsip kesantunan berbahasa, tetapi juga
berdampak hukum karena mengandung prasangka, stereotip, serta penghinaan
terhadap kelompok tertentu. Fenomena ini memperlihatkan bagaimana bahasa dapat
berubah menjadi alat provokasi dan perpecahan. Kondisi serupa juga ditemukan
oleh Subekti, dkk. (2020) yang meneliti masyarakat Desa Kepunduhan, Tegal.
Hasil kajian mereka memperlihatkan bahwa ujaran kebencian dan hoaks di media
sosial tidak hanya menimbulkan keresahan sosial, tetapi juga memengaruhi
penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari. Penyebaran ujaran
kebencian yang massif dapat mengikis etika berbahasa dan menurunkan kualitas
komunikasi di ruang publik. Lebih jauh lagi, penelitian Kri Hutabarat, dkk.
(2025) mengenai komentar pada akun Instagram Anies Baswedan menunjukkan bahwa
ranah politik menjadi salah satu ruang yang rentan dipenuhi ujaran kebencian.
Dari hasil penelitian ditemukan berbagai bentuk ujaran kebencian, seperti
penghinaan, provokasi, pencemaran nama baik, hingga penyebaran berita bohong.
Fakta ini menegaskan bahwa media sosial politik telah menjadi arena pertarungan
wacana yang kerap diwarnai polarisasi dan ujaran kebencian. Berdasarkan temuan
tersebut, jelas bahwa penggunaan Bahasa Indonesia di media sosial, khususnya
dalam konteks politik, menghadapi tantangan besar. Alih-alih menjadi wahana
diskusi sehat, media sosial justru sering dimanfaatkan untuk menyebarkan ujaran
kebencian yang berdampak negatif terhadap kohesi sosial, kualitas demokrasi,
dan perkembangan bahasa itu sendiri. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif
guru dan dosen Bahasa Indonesia untuk mengajarkan literasi kritis kepada siswa
maupun mahasiswa. Literasi kritis sangat penting agar generasi muda mampu
memilah bahasa politik yang sehat, menolak ujaran kebencian, serta
berpartisipasi dalam membangun komunikasi publik yang beradab.
1.2 Konteks
Penggunaan Bahasa Indonesia di Arena Politik Media Sosial
Penggunaan Bahasa Indonesia di arena
politik media sosial mencakup berbagai bentuk, mulai dari kampanye persuasif
hingga ekspresi yang merusak. Dalam kampanye politik, Bahasa Indonesia sering
dimanfaatkan untuk menciptakan slogan-slogan yang mudah diingat, seperti
“Indonesia Emas 2045” atau fase-frase berbasis isu lokal yang disesuaikan
dengan platform algoritma. Politisi dan tim kampanye biasanya menggunakan
bahasa sehari-hari yang inklusif untuk menarik perhatian masyarakat, tetapi
juga memasukkan unsur emosional seperti narasi nasionalisme atau kritik
terhadap lawan.
Ujaran kebencian muncul dalam bentuk komentar, meme, atau postingan yang menargetkan kelompok etnis, agama, atau ideologi tertentu. Misalnya istilah-istilah seperti “komunis” atau “liberal” sering disalahgunakan untuk mendiskreditkan lawan, memanfaatkan sejarah politik Indonesia yang sensitif. Polarisasi, di sisi lain, diperkuat melalui ruang gema di media sosial, di mana pengguna Bahasa Indonesia membentuk kelompok-kelompok yang saling menyerang, seperti pro dan kontra terhadap kebijakan pemerintah. Konteks ini semakin relevan di tahun 2025, dengan prediksi peningkatan konten berbasis deep fake yang menggunakan Bahasa Indonesia untuk menyebarkan disinformasi, sebagaimana dilaporkan oleh lembaga seperti Mafindo (Masyarakat Antri Fitnah Indonesia). Secara keseluruhan konteks ini mencerminkan dualitas bahasa, yaitu sebagai alat demokrasi yang membuka ruang partisipasi, sekaligus senjata yang memicu konflik sosial.
1.3 Dampak Positif
a. Kampanye politik di media sosial dengan bahasa
yang sederhana membuat isu politik lebih mudah dipahami masyarakat.
b. Bahasa persuasif dapat mendorong partisipasi
publik, terutama generasi muda, dalam proses politik.
c. Media sosial memberi ruang bagi masyarakat untuk
menyampaikan aspirasi dengan cepat melalui bahasa yang komunikatif.
1.4 Dampak Negatif
a. Ujaran kebencian dengan bahasa kasar dan
provokatif memicu konflik, baik di ruang digital maupun nyata.
b. Penggunaan bahasa yang berlebihan dalam kampanye
sering mengaburkan fakta, sehingga masyarakat sulit membedakan informasi benar
dan manipulasi.
c. Polarisasi politik makin tajam karena bahasa di media sosial sering dipakai untuk memberi label atau stereotip pada kelompok tertentu, sehingga ruang dialog sehat berkurang.
1.5 Peran
Guru Bahasa Indonesia dalam di Arena Politik Media Sosial Penggunaan Bahasa
Indonesia dalam kampanye politik, ujaran kebencian, dan polarisasi.
Guru bertanggung jawab untuk
membentuk karakter dan membimbing perilaku
siswa agar menjadi individu yang lebih baik.
Guru dan dosen Bahasa Indonesia berperan penting dalam membentuk literasi
kritis peserta didik terhadap wacana politik di media sosial. Beberapa peran
guru dan dosen terhadap fenomena penggunaan bahasa Indonesia di arena politik
media sosial.
Guru dan dosen menjadi fasilitator
kesadaran berbahasa, yakni membimbing siswa atau mahasiswa memahami bahwa
bahasa dapat digunakan untuk politik, kepentingan dan dapat
bersifat persuasif maupun manipulatif serta harus berhati-hati dalam menuliskan
argumen ataupun pendapat. Sebagai pendidik literasi kritis dengan melatih
peserta didik menganalisis teks politik, mengidentifikasi hoax, ujaran
kebencian, dan bias ideologis. Menanamkan etika berbahasa seperti
nilai kesantunan, penghargaan terhadap perbedaan, serta penggunaan bahasa yang
baik dan tidak menyinggung SARA. Menciptakan budaya dialogis melalui diskusi
dan debat akademik agar peserta didik terbiasa menyampaikan pendapat secara
logis dan konstruktif.
Dengan demikian, tugas tenaga pendidik
tidak hanya mengajarkan kaidah bahasa, tetapi juga membekali generasi muda
untuk menjadi pengguna bahasa politik yang kritis, etis, bijak dan tidak
menyebarkan hoax di tengah maraknya polarisasi serta ujaran kebencian di
media sosial.
1.6 Studi
Kasus
Ujaran kebencian kerap muncul di media
sosial dalam berbagai bentuk komentar yang menyerang secara personal maupun
pihak tertentu , mulai dari merendahkan fisik seseorang dengan menyamakan
wajahnya dengan hewan, melontarkan kata-kata kasar seperti “anjing” atau
“tai kucing”, hingga ungkapan ekstrem seperti “lebih baik mati saja”
atau ajakan untuk “mencari pembunuh bayaran”. Tidak jarang komentar juga
bernada provokatif, misalnya dengan mengajak orang lain ikut menghujat melalui
kalimat seperti “yang nggak suka, ayo like”. Ungkapan-ungkapan semacam
ini jelas memperlihatkan bagaimana bahasa di media sosial dapat bergeser fungsi
menjadi alat kekerasan simbolik yang melukai, merendahkan, bahkan mengadu
domba.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ujaran
kebencian tidak hanya berdampak pada individu di ranah hiburan, tetapi juga
berpotensi lebih serius ketika terjadi dalam konteks politik. Bahasa kebencian
dapat digunakan untuk menjatuhkan lawan politik, menyulut sentimen kelompok,
memperburuk citra tokoh atau partai, hingga memperdalam polarisasi sosial yang
membahayakan persatuan masyarakat. Pola yang kerap muncul dalam ujaran
kebencian antara lain: penghinaan atau hujatan, luapan emosi berupa marah atau
kesal, peringatan yang bernuansa ancaman, serta provokasi untuk mengajak orang
lain turut membenci.
Kasus ini menegaskan pentingnya pendidikan literasi kritis dalam pembelajaran Bahasa Indonesia. Siswa dan mahasiswa perlu diarahkan untuk dapat membedakan antara kritik yang membangun dengan ujaran kebencian, serta mampu menilai penggunaan bahasa politik yang sehat dibandingkan bahasa yang manipulatif dan destruktif. Guru dan dosen Bahasa Indonesia memiliki peran strategis dalam menanamkan kesadaran tersebut, agar generasi muda tidak hanya terampil berbahasa, tetapi juga mampu menggunakan bahasa secara etis, bijak, dan bertanggung jawab dalam interaksi politik di media sosial.
1.7 Simpulan
Bahasa Indonesia memegang posisi yang penting sebagai sarana komunikasi
dan perekat hubungan sosial, tetapi dalam konteks media sosial politik, bahasa
kerap sekali disalahgunakan sebagai alat provokasi, penyebaran kebencian dan menciptakan
polarisasi. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pernyataan kebencian di ruang
siber tidak hanya melanggar norma etika bahasa, tetapi juga menimbulkan
ketegangan sosial, yang merusak kualitas demokrasi dan dapat berimplikasi pada
masalah hukum. Namun, di samping itu bahasa memiliki potensi positif sebagai
alat kampanye politik yang efektif serta memberikan ruang aspirasi masyarakat.
Kondisi dualitas ini menuntut adanya peran strategis guru dan dosen
bahasa Indonesia untuk menanamkan literasi kritis kepada generasi muda. Mereka
tidak hanya mengajarkan tata bahasa, tetapi juga melengkapi siswa dengan
keterampilan menganalisis wacana politik, membedakan antara kritik dan ujaran
kebencian, serta menciptakan budaya komunikasi yang sopan dan rasional. Studi
kasus tentang ujaran kebencian di media sosial semakin memperkuat pentingnya
pendidikan literasi kritis agar bahasa tidak berubah menjadi alat kekerasan
simbolik, tetapi tetap berfungsi sebagai media komunikasi publik yang
bermartabat dan beretika. Dengan demikian, pengajaran Bahasa Indonesia berperan
penting dalam membentuk generasi yang berpikir kritis, bijak, dan bertanggung
jawab dalam penggunaan bahasa di era digital saat ini.
Referensi
https://tahtamedia.co.id/index.php/issj/article/download/1386/1376/4988
https://journal.aspirasi.or.id/index.php/Semantik/article/download/1830/1995/8994
https://share.google/cRt4mqkt3Lbgef9hE
Faiz Fadhlurrohman, Aceng Ruhendi Saifullah, & Andika Dutha Bachari. (2024). Analisis Pragmatik Kritis terhadap Tindak Tutur Ujaran Kebencian yang Berdampak Hukum di Media Sosial.
Rosalina Subekti, Primadina Anismaditya, & Sesya Dias Mumpuni. (2020). Dampak Ujaran Kebencian di Media Sosial pada Penggunaan Bahasa Indonesia pada Warga Kepunduhan.
Krismonita Darliani Hutabarat,
Radhiah, & Iba Harliyana. (2025). Ujaran Kebencian pada Kolom Komentar
Media Sosial Akun Instagram Anies Baswedan.
Ramadani, F. S. (2021). Ujaran kebencian netizen Indonesia dalam kolom komentar Instagram selebgram Indonesia: Sebuah kajian linguistik forensik. Aksara: Jurnal Bahasa dan Sastra, 22(1), 1–19.
Theresia, E. (2024) Analisis
Penggunaan Bahasa dalam Propaganda Politik di Media Sosial.
Komentar
Posting Komentar