[Berbagi Karya]: Cerita Pendek "Seperlima Abad"
Seperlima Abad
Karya: Khoerun Nisa
Tepat lima hari yang lalu umurku resmi dua puluh. Apakah aku sudah dewasa?
Sepertinya tidak, aku tidak yakin. Di umur yang sama, ibuku menikah tiga puluh
tahun yang lalu, tahun berikutnya dia mendapatkan kakakku. Sementara aku masih
bingung atas semua hal. Sebenarnya hidup itu untuk apa? Di umur seperlima abad,
aku banyak bertanya pada Tuhan.
Tuhan, tujuan hidupku apa? Bisakah aku berhenti di fase remaja saja, tetapi
jangan mati dulu. Tangga yang tersedia begitu curam, Tuhan! Terlalu licin untuk
ditapaki! Dalam setengah abad aku baru menginjak tangga ketiga. Berbeda dengan
dia dan dia. Mereka sudah mencapai tingkat yang aku inginkan. Tuhan, bisakah
aku menyerah?! Pada umur yang sama aku bahkan sama sekali tidak setara.
Tetapi sepertinya Tuhan belum menjawab pertanyaanku. Mungkin Tuhan terlalu
sibuk mengurus hamba yang lebih taat padanya. Tentu, hamba yang sering lalai
sepertiku perlu menunggu antrean. Berapa lama lagi? Mungkin di salat Ashar atau
di mimbar masjid yang berdebu, mungkin juga di lembar Al-Qur'an yang tertekuk.
Aku tidak beranjak untuk menemui Tuhan, aku ingin menemui Tuhan di kamar
kos--tempat di mana aku sering melupakan-Nya.
Tuhan, usahaku dangkal bahkan ketika aku ingin menemui-Mu.
Seperlima abad menjadi sebuah fase yang membuatku banyak menangis. Aku
belajar dan melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda. Mataku tidak lagi
memandang harapan dan ekspetasi sebagai kata yang positif. Keduanya adalah
beban tak berdasar. Memikulnya begitu berat, meskipun pada awalnya mereka
terlahir dari sorot bahagia dan bibir dengan penuh senyum.
Aku manusia yang gemar disanjung, aku haus validasi, aku perlu diakui, dan
aku ingin diapresiasi. Namun, di seperlima abad aku hidup, baru ku
ketahui, aku belum layak. Tidak pantas untuk sebuah dukungan, tepuk
tangan dan dirayakan. Aku merasa kecil Tuhan, di hadapan realita
kehidupan--pada dunia yang Kau siapkan.
Tanggal 25 Juni--lima hari yang lalu, aku beranjak dari kasurku. Kali ini
begitu mudah, mungkin karena besok adalah hari ulang tahunku. Aku tidak sabar
mendapat kado dan ucapan selamat dari semua relasi yang susah payah aku bangun.
Aku yang berumur dua puluh tahun akan dirayakan banyak orang, kan?
Kakiku berjalan santai menyusuri Jl. Jaelani yang berlawanan arah dengan
letak Fakultas Ilmu Budaya. Aku menuju sebuah toko kue, memasukinya, dan
melihat mini cake yang berjejer di tempat pendingin. Secara
selektif, aku memilih kue mana yang akan ku ajak merayakan hari spesialku. Kue
biru dengan delapan bunga, yang berwarna merah muda dengan tiga tanda hati,
atau kue kuning dengan goresan krim putih sebagai awan. Pada akhirnya aku
memilih kue merah muda dengan tiga tanda hati.
"Kuenya mau dikasih tulisan, Kak?" tanya penjaga toko.
Aku tersenyum dan mengangguk. Penjaga toko memberiku secarik kertas dan
bolpoint. Aku mengerti maksudnya, lalu tanganku bergerak untuk menuliskan
sebuah kalimat yang sebenarnya ingin aku dengar dari orang lain, "20
tahun, Rinan." Kakak penjaga toko langsung menjiplak tulisanku ke
kue yang aku pilih. Aku tidak lupa membeli sebatang lilin.
"Siapa yang ulang tahun, Kak?" sekali lagi penjaga toko bertanya,
Tidak mungkin aku berkata bahwa sebenarnya yang berulang tahun adalah yang
memesan dan menuliskan kata selamat. Itu sedikit narsistik, "Teman saya,
Kak," jawabku.
Dengan ramah dia tersenyum sembari memberikan pesananku, "Selamat
ulang tahun Kak Rinan!" Aku terperangah, bagaimana dia tahu kalau aku
adalah Rinan? Ah, pantas saja, aku sedang memakai name tag. Pantas
saja, aku gagal membohonginya. Tapi satu yang aku syukuri, ucapan selamat telah
aku dapatkan bahkan di hari sebelumnya.
Di pukul 23.54 aku masih belum tertidur, aku memotret banyak foto kue itu.
Ini momen yang harus aku rayakan dan mungkin akan dirayakan orang lain juga,
Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 23.59, satu menit lagi aku akan resmi
bertambah usia. Aku mencari korek api dan membuka bungkus kue, sebuah cahaya
selain lampu kamar telah menyala di depanku. Cahaya dari lilin yang ikut
membersamaiku menunggu tengah malam.
Tiga...
Dua...
Satu...
Selamat ulang tahun... selamat ulang tahun... selamat ulang tahun
Rinanda... selamat ulang tahun...
Aku meniup lilinku, apinya padam dan asapnya yang berupa lengkungan tipis
berlari mengikuti udara kemudian hilang. Ternyata berbeda dengan tahun lalu,
kini aku sendirian dengan umur sembilan belas yang melambai dan pergi. Aku tahu
orang dewasa identik dengan mandiri, tetapi tidak pernah terpikir bahwa mandiri
yang dimaksud adalah menyiapkan dan merayakan ulang tahun sendiri. Mungkin
tahun selanjutnya aku tak akan peduli dengan tanggal 26 Juni.
Aku menengok ke telepon genggam, membuka media sosial. Siapa tahu ada yang
mengucapkan kata selamat dan doa. Belum ada notifikasi apa pun, mungkin aku
perlu menunggu di detik berikutnya. Mereka pasti membutuhkan banyak waktu untuk
menuliskan doa dan harapan, kan? Aku berlalu dan melihat cerita
Instagram dari seorang yang aku ikuti.
Ada yang mengunggah hal bahagia, juara satu, gaji pertama, kencan,
dan lamaran. Di hari spesialku, ternyata orang lain juga merayakan
pencapaiannya. Aku bahkan tidak memiliki apa pun yang bisa aku unggah selain
kue merah muda dengan tiga tanda hati. Di hari ulang tahunku, aku kalah dengan
mereka yang menganggap 26 Juni sebagai hari biasa.
Aku masih belum tertidur hingga pukul 02.00 dan masih belum ada ucapan yang
ku terima. Apakah rekanku di organisasi semester lalu melupakannya? Bagaimana
dengan teman sekelasku? Atau relasi yang ku banggakan itu...? Apakah 249.618
jiwa yang tinggal di Purwokerto tidak ada yang sengaja bangun di tengah malam
untuk... mengucapkan, "Selamat ulang tahun, Rinanda."
Tuhan aku kesepian. Aku mampu mandiri, tapi rasanya terlalu sunyi. Apakah
dewasa artinya dunia tidak mempersilahkan waktu dan tempat bagiku barang
sejenak? Aku yakin, Tuhan tidak tidur saat ini, maka izinkan aku untuk
merayakan dengan-Mu.
Kembali ku tutup kue itu dan beranjak memasukannya ke kulkas, Tuhan tidak
memerlukan kue untuk merahmatiku. Tak lantas tidur, aku menyentuh air untuk
bersiap berdialog dengan Tuhan. Menutup tubuhku dan bersujud, melalui tahajud
aku merayu Tuhan untuk membersamaiku.
Komentar
Posting Komentar