[Berbagi Karya] Cerita Pendek: Renjana Sendyakala: Di saat Senja Mengubah Arah Pandangnya
Renjana Sendyakala; Di saat Senja Mengubah Arah Pandangnya
Oleh: Arunnysa
Hidup
tak langsung berhenti karena satu hal buruk terjadi. Aku setuju dengan kalimat
itu, entah bisa memotivasiku atau tidak, tapi itulah yang terjadi. Hidupku
masih terus berlanjut meski sebulan yang lalu laman penerimaan universitas
negeri mengumumkan aku lolos pilihan kedua. Meskipun tuhan telah berbaik hati
memberiku kesempatan untuk lolos, namun pilihan kedua bukanlah yang aku
inginkan.
Pendidikan Bahasa Indonesia, program studi yang menerimaku setelah terhempas dari jajaran nama calon mahasiswa yang diterima program studi Ilmu Komunikasi. Namaku sekarang sudah ber-title Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia atau sebut saja secara singkat, PBI. Aku tahu, tidak ada jurusan yang mudah, tetapi melihat lagi prospek kerja jurusan ini tidak lain hanyalah guru. Ya, seseorang teladan yang digugu dan ditiru. Begitu mulia kata orang, tetapi lihat saja realitasnya, apakah profesi ini sejahtera? Ditambah mendidik anak bangsa yang mabuk sosial media dan minim etika.
Profesi itu kini kurang menarik ditelingaku, tapi lihat sekarang akulah mahasiswa pendidikan. Akulah si calon guru yang memiliki amanah mendidik anak bangsa. Akulah calon orang yang menekuni profesi yang tidak sejahtera. Aku adalah mahasiswa dengan jurusan pendidikan yang katanya paling mudah dan namanya tidak setenar jurusan ilmu murni seperti, Hukum, Manajemen bahkan jurusan impianku, Ilmu Komunikasi.
Namun
seberapa pun aku menolak, takdir sepertinya begitu ingin menjodohkanku dengan
program studi ini. Tatkala aku menyampaikan niatku untuk membatalkan
registrasi, papa justru menentang. Jangan jadi orang yang tidak bersyukur, kata
papa. Lulus universitas negeri dengan akreditasi unggul bukanlah hal mudah
ketika kamu tidak punya orang dalam. Lagi pula saat itu aku sudah menyelesaikan
registrasi dan uang pun bukanya sedikit yang sudah keluar. Akan terlalu sia-sia
jika akhirnya aku tidak melanjutkan menjadi mahasiswa. Benar kata papa, jangan
jadi orang yang tidak bersyukur.
Di sinilah
aku sekarang, dengan nametag yang terbuat dari kardus dan memakai
setelan olahraga. Duduk beralaskan rumput sembari mendengar kelompok lain
menyanyikan yel-yel.
“Semantik?!” pimpin ketua kelompok.
“Yuhuuu!” sahut para anggotanya.
Semua
orang bertepuk tangan, beberapa juga tertawa. Aku turut merasakan kehangatan
dari malam keakraban program studi ini. Namun disisi lain juga terasa hambar
saat menyadari yang aku ikuti bukanlah malam keakraban jurusan impianku. Maaf
ya, Pa, ternyata aku masih jadi orang yang kurang bersyukur.
Tepukan
pelan di pundakku, membuyarkan lamunan. Aku menoleh ke belakang, Amira--teman satu
kelompokku tersenyum lemah. Wajahnya pucat bahkan saat berbicara suaranya
terdengar sangat pelan.
“Sintya, kayaknya aku sakit, deh. Temenin ke ruang
medis ya” pintanya.
Aku
mengangguk, aku juga tidak yakin kalau Amira bisa tahan sampai kelompok
terakhir menyelesaikan yel-yel. Aku mendatangi kakak pendamping kelompokku
untuk meminta izin membawa Amira ke ruang medis. Setelah mendapat izin aku
menggandeng Amira dibantu dengan seorang panitia makrab divisi medis. Tangan Amira
terasa begitu dingin dalam genggamanku.
Amira
berbaring di matras ruang medis, kakak panitia tadi langsung sibuk mencari
kotak P3k. Sementara aku mengambil air mineral untuk Amira minum. Sebenarnya
aku bisa saja kembali ke halaman depan vila, melanjutkan kegiatan makrab. Namun
Amira tidak membiarkanku pergi, katanya situasi akan terlalu canggung jika
hanya ada panitia medis dan dirinya, apalagi mereka belum saling mengenal. Aku
mengiyakan permintaannya, toh, melanjutkan kegiatan makrab akan mengingatkan
bahwa aku gagal dan akan melanjutkan kegagalan itu.
Aku
duduk termenung di samping matras di mana Amira berbaring. Aku bukannya melamun
biasa, banyak hal yang berputar di pikiranku. Tentu saja tentang masa depan,
bagaimana aku menjalankan masa perkuliahan ataupun bagaimana aku mempersiapkan
diri untuk ujian masuk kampus di tahun depan. Aku masih punya kesempatan masuk
Ilmu Komunikasi meskipun itu berarti aku harus bertahan di prodi ini selama dua
semester.
“Malik, tunggu dulu, ya. Ada anak sakit di aula,” ucap
kakak yang tadi membantuku membawa Amira.
Seseorang
yang diajak berbicara ternyata berada di belakangku, dia mengangguk dan
membiarkan teman satu divisinya keluar dari ruang medis. dia berjalan ke arah
dispenser, mengambil segelas air dam meminumnya. Matanya melihat ke arahku,
membuatku melakukan hal yang sama. Pada akhirnya kami bertatapan.
“Kamu sakit apa?” tanya seseorang yang bernama Malik. Aku
menggeleng untuk menanggapi, kemudian beralih melihat Amira yang sedang
tertidur, “Dia yang sakit, aku nemenin di sini.” jawabku. Kak Malik
mengambil segelas air lagi, membawanya ke meja di dekat kamar mandi yang juga
berada di ruang medis.
“Kamu nggak balik? Acaranya masih, loh,” tanyanya
lagi.
“Tenang aja, ada anak medis yang jagain temenmu,
kok.” Lanjutnya.
Kembali aku menggelengkan kepala, “Aku di sini saja,
Kak. Lagian penampilan yel-yel juga tinggal tiga kelompok lagi terus ishoma solat
magrib.” Jawabku.
“Nggak suka acara begituan, ya?” Benar tapi kurang
tepat, aku memang tidak terlalu suka berlama-lama di kerumunan.
Namun
jika acara ini adalah makrab Ilmu Komunikasi mungkin akan beda cerita. Aku
pasti lebih menikmati makrab dan tertarik untuk mengikuti semua rangkaian acara
tanpa terlewat sedikitpun. Ah, andai…
“Ternyata emang nggak suka ya. Yang bikin nggak
suka teman-temanmu, panitia nya atau jangan-jangan…” dia menggantung ucapannya,
membuatku kembali melihatnya.
Kak Malik tersenyum, “Program studinya ya?!” lanjutnya. Aku
tersenyum miris, dia menebaknya dengan benar bahkan untuk kedua kalinya.
“Aku nggak terlalu suka sama rangkaian acara di
makrab ini, beberapa hal rasanya tidak sesuai” jawabku, aku sendiri juga
terkejut mengapa aku bisa begitu terus terang pada orang ini.
“Emang ekspektasi kamu apa? Cinlok kayak yang
ada di sinetron?” Kak Malik sedikit tertawa. Dia berdiri dan bersandar pada
dinding di seberangku. Dengan cepat aku melambaikan tangan bertanda jawabannya
sama sekali tidak benar. Itu salah besar, ada hal yang lebih penting daripada
romantisme di masa kuliah.
“Bukan!” bantahku.
“Acaranya nggak asik, udah mahasiswa tapi masih yel-yel
sama pentas seni. “ ucapku, kemudian aku menyadari perkataanku sangat tidak
sopan. Maka aku lanjutkan dengan berhati-hati “Aku nggak ngerti…. urgensinya.”
Suaraku memelan pada kata terakhir.
Bukannya
tersinggung ataupun marah, Kak Malik justru tertawa dengan geli, apakah dia
menertawakanku? Atau itu adalah bentuk sarkasme atas penuturanku? Tawanya
berangsur mereda, tapi aku masih melihat senyuman di wajahnya.
“Mau denger pendapatku tentang itu?” tawarnya. Aku diam
sejenak, mendapatkan pendapat dari orang yang sudah melewati dua semester di
prodi ini mungkin bisa menjadi wawasan baru untukku.
“Boleh kak” sahutku. Kak Malik menarik nafas dalam,
membuatku penasaran pada apa yang akan dia katakan padaku.
“Acara ini kesannya ecek-ecek, ya? Isinya nyanyiin
yel-yel, penelusuran, pentas seni dan api unggun. Makrab ini juga nggak
ngejamin relasi kayak tulisan poster yang diupload di Instagram
himpunan. Buktinya kamu nggak kenal atau bahkan deket sama semua
orang di sini, kan? Emang kamu tahu siapa aku?”
“Kak Malik, panitia divisi medis,” jawabku.
“Nggak ada lagi, kan? Apa informasi kayak gitu
bisa jadiin aku relasimu?” dia menggeleng menjawab pertanyaannya
sendiri.
“Terus acara ini benefitnya apa dong? Aku yakin
pertanyaan itu nggak Cuma terlintas di pikiranmu. Hampir semua yang ikut
makrab pasti punya pertanyaan yang sama. Bahkan orang yang menikmati makrab ini
juga nggak tau apa tujuannya. Tapi kalo menurutku, makrab itu
kayak pelepasan masa remaja yang ringan, tanpa tanggung jawab yang berarti. Sebelum
kamu bakal sepenuhnya menanggung risiko dari setiap langkahmu. Ibaratnya ini
adalah momen seneng-seneng terakhirmu sebelum akhirnya kamu mengemban
tanggung jawab atas titel mahasiswamu itu.”
Aku
menyimaknya dengan intens. Melihat sepertinya percakapan kami mungkin akan
berangsur panjang. Kak Malik duduk di tempat yang sama di mana dia berdiri.
Masih dengan senyum yang hangat.
“Karena setelah makrab ini, kamu mungkin nggak bisa seneng-seneng
tanpa mikirin hal yang berat tentang perkuliahan kayak apa mata kuliah
selanjutnya, proyek akhir semester bahkan sampai apa ipk semester ini bakal
bagus atau engga,” lanjutnya.
“Apalagi kalo udah ketemu statistika,”
“Emang kenapa, Kak?” tanyaku penasaran. Kak Malik
menunjukkan jari jempolnya tapi sambil tersenyum ironis “Ukh… mantab!”
Melihat dia berekspresi seperti itu, aku sangat yakin statistika bukanlah
matkul yang mudah.
“Apa, sih, tema makrab tahun ini? Renjana Sandyakala, ya. Tau
artinya?” tanyanya.
“Kalo dari yang aku lihat di ig himpunan, renjana artinya
rindu terus sandyakala itu gurat merah waktu senja,” Jawabku.
“Bener. Singkatnya,
merindu gurat merah saat senja. Kenapa nggak sekalian pagi aja? Biar
namanya jadi renjana arunika,” ucapnya lagi. Aku tidak menanggapi ucapannya,
aku hanya ingin mendengar dia berbicara lebih banyak lagi.
“Karena banyak orang yang melewatkan fajar tapi semua orang
melewati senja. Karena penghujung siang adalah waktu yang tepat buat melihat
apa saja yang telah terjadi sepanjang hari ini, mendata apa aja
kesalahan yang kita perbuat dan berharap buat hari esok.”
“Berharap?” tanyaku.
Kak Malik mengangguk, “Semua orang pasti pengin hari
esok lebih baik dari hari ini ataupun kemarin. Makannya banyak orang yang
berharap di saat senja sambil meregangkan seluruh badan yang udah sibuk
dari pagi,” jawabnya. Aku tersenyum lemah, sedikit menundukkan kepala. Kali ini
aku menatap lantai berkeramik putih di bawahku.
“Tapi aku nggak bisa berharap apa pun semenjak ada
di prodi ini.” Akhirnya aku mengucapkan hal ini juga.
“Apa yang kamu khawatirin tentang prodi kita?” tanyanya. “Nggak
bisa dipamerin yah kalo kumpul bareng temen?” tanya Kak Malik.
Air
mataku mulai mengumpul, aku tidak menjawabnya karena jika aku bersuara sedikit
saja pasti aku akan menangis. Aku masih menunduk, menyembunyikan wajahku yang
pasti sudah tidak karuan. Aku membiarkan keheningan hinggap disela percakapan
kami.
“Padahal keren, loh, prodi kita. Prospek kerjanya juga
jelas” ucapnya lagi.
Aku
tergerak untuk membalas pendapatnya. Setelah memastikan aku tidak akan menangis
saat membantah ucapannya, baru aku menjawab, “Iya, jelas jadi guru. Tapi nggak
jelas kesejahteraannya!” emosi jelas terdengar dari balasanku, tapi seperti
biasa Kak Malik hanya menatapku sambil tersenyum maklum.
“Itu yang kamu khawatirin? Kamu takut udah
kuliah sampai selesai dan kamu nggak se-sejahtera lulusan prodi lain? Emang
siapa yang bilang jurusan lain bakal lebih sejahtera, hmm? Kesejahteraan nggak
cuma ditentuin sama jurusan kuliah,”
“Tapi liat realitasnya, Kak. Mau berharap apa?”
“Ya berharap aja guru bisa sejahtera. Makanya kita coba
ganti realita itu dengan realisasi harapan kita. Realisasi awalnya juga dari
omongan yang direncanakan baru tuh mulai aksi dan dapet hasil” Kak Malik
menghela nafas, “Hal yang kamu khawatirin terlalu kecil buat disandingin sama
dunia nyata. Kamu masih muda, jangan terlalu banyak pikiran.”
Aku
tertegun dengan ucapannya kali ini. Apakah selama ini aku terlalu membesar
besarkan hal kecil? Kak Malik mungkin tidak mengerti apa yang aku rasakan.
Namun, pendapat dari seseorang yang sudah menapaki dunia setahun lebih lama
dariku punya cara pandang yang berbeda. Apakah aku harus memandang dunia dengan
cara yang sama dengan kacamata Kak Malik?
Kak
Malik menunjuk jendela yang menyuguhkan pemandangan langit senja. Sebentar lagi
mungkin sinar surya akan meninggalkan bumi. Aku mengikuti arah tunjuknya, kami
sama-sama menatap langit dari jendela ruang medis. Kak Malik tidak berkata
apapun sementara aku juga tidak berniat memulai percakapan lagi.
“Kalo menurutku, sandyakala kayak bintang jatuh. Selama
gurat merahnya belum hilang, harapan yang dipanjatkan pasti bakal terkabul,” ucapnya.
“Nggak harus sekarang, tapi pasti,” lanjutnya dengan yakin.
“Kakak percaya sama yang begituan?” tanyaku.
Dia tertawa kecil, menaikkan kedua pundaknya seraya
berkata, “Kadang hidup perlu percaya begituan biar seru.”
Aku
tersenyum mendengar jawabannya, pendapatnya kadang begitu kompleks tapi bisa
juga begitu sederhana. Bahkan ucapannya seperti sihir yang membuatku mengikuti
perkataannya untuk berharap sebelum sandyakala hilang. Aku sangat ingin punya
optimisme seperti milik Kak Malik. Begitu juga dengan cara pandangnya terhadap
dunia. aku berharap masa perkuliahan sampai semester dua akan berjalan dengan
baik, sampai aku memutuskan untuk melanjutkan atau memulai lembar baru dengan
kembali dengan ambisiku untuk menggapai apa yang kuinginkan saat ini.
Percakapanku dengan Kak Malik tidak banyak mengubah
keinginanku ataupun caraku berpikir. Namun Kak Malik setidaknya sedikit
meredakan kekhawatiran tentang semua ini. Meskipun hanya percakapan dalam
pertemuan yang singkat, apa yang dikatakan Kak Malik mendorongku untuk bersedia
mencicipi dua semester pada program studi yang menerimaku. Tentu saja dengan
terus berharap ketika senja belum kehilangan sandyakalanya.
Komentar
Posting Komentar