[Berbagi Karya]: Artikel Populer

Realitas Implementasi Muatan Lokal dan Minat Siswa Belajar Bahasa Jawa

Oleh: Novita Rizqi Ramadani

Mata pelajaran muatan lokal dalam kurikulum nasional memiliki peran dalam mengembangkan kompetensi siswa  yang sesuai dengan kearifan lokal daerahnya masing-masing. Muatan lokal didefinisikan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 79 Tahun 2014 tentang Muatan Lokal Kurikulum 2013, sebagai bahan kajian atau mata pelajaran pada satuan pendidikan SD/MI, SMP/MTs, SMA/MAK, yang isinya berupa muatan dan proses pembelajaran tentang potensi dan keunikan lokal. Potensi tersebut dapat mencakup berbagai aspek, mulai dari sejarah, budaya, geografi, hingga bahasa daerah.

Salah satu tujuan utama dari muatan lokal yaitu untuk membekali siswa dengan sikap, pengetahuan, dan keterampilan agar dapat memahami dan menghargai lingkungan. Melalui pembelajaran muatan lokal, siswa dapat mengamalkan nilai-nilai sosial dan budaya di lingkungannya, menumbuhkan rasa kepekaan terhadap isu-isu di lingkungan sekitar, dan meningkatkan keterampilan fungsional dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, muatan lokal juga memberikan dampak bagi pelestarian dan pelindungan bahasa daerah, salah satunya bahasa Jawa.

Dengan memberikan perhatian khusus bagi bahasa Jawa di dalam kurikulum, siswa tidak hanya mempelajari aspek linguistiknya saja, tetapi juga mendapatkan pemahaman mendalam tentang nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Dalam proses belajar, siswa juga mendalami unggah-ungguh basa, kesenian Jawa, aksara Jawa, dan tokoh kepahlawanan Jawa. Dengan demikian, siswa dapat lebih memahami dan menghargai budaya Jawa, serta menjadi bagian dari masyarakat yang berbudaya.

Sayangnya, implementasi kurikulum pada muatan lokal sebagai mata pelajaran pelengkap dan formalitas belaka merupakan realitas yang kita hadapi. Dalam konteks tersebut, mata pelajaran muatan lokal seringkali tidak mendapatkan perhatian yang cukup, baik dari pihak sekolah maupun guru. Akibatnya, minat siswa dalam mempelajari bahasa Jawa pun ikut menurun. Problematika ini memiliki potensi yang akan mengancam nasib bahasa Jawa yang saat ini dianggap menuju kepunahan.

Maraknya penggunaan bahasa gaul yang sedang tren oleh generasi muda, menyebabkan posisi bahasa Jawa tergeser. Penggunaan unggah-ungguh basa menjadi semakin jarang, siswa lebih condong memakai bahasa Jawa ngoko daripada bahasa Jawa krama inggil. Hal ini sama dengan penjelasan yang dilakukan oleh (Latifah, 2019) yang menjelaskan bahwa generasi muda khususnya anak sekolah saat ini memilih menggunakan bahasa ngoko, sehingga tidak tahu cara menggunakan bahasa Jawa (krama inggil) yang baik.

Faktor-faktor yang menyebabkan kurangnya kualitas dalam pengimplementasian muatan lokal bisa berasal dari berbagai sumber seperti, strategi tim pengembangan kurikulum yang kurang baik dalam mengimplementasikan kurikulum. Hal ini dapat mencakup kurangnya sumber daya, seperti buku bacaan yang relevan atau sarana yang mendukung pembelajaran, serta kurangnya pelatihan bagi guru untuk mengajar muatan lokal. Tanpa dukungan yang memadai dari sekolah, guru mungkin merasa terbatas dalam memberikan pengajaran yang efektif dan menarik.

Kurangnya kreativitas guru dalam menciptakan suasana belajar yang menarik perhatian siswa juga dapat menjadi faktor yang signifikan. Guru yang kurang inovatif mungkin cenderung mengajar dengan metode yang monoton atau kurang menarik, sehingga siswa mudah bosan saat belajar. Dibutuhkan pendekatan yang kreatif untuk mengubah pengalaman belajar menjadi sesuatu yang memikat bagi siswa.

Dalam menghadapi realitas ini, perlu dilakukan upaya kolaboratif antara tim pengembangan kurikulum sekolah dengan guru guna menciptakan lingkungan belajar yang mendukung. Pertama, tim pengembangan kurikulum dapat berkoordinasi dengan tim lainnya untuk memastikan kurikulum relevan dengan kebutuhan guru dan siswa. Mengajukan proposal pengalokasian dana sekolah kepada kepala sekolah untuk menyediakan sumber daya yang cukup, seperti buku bacaan dan sarana yang memadai.

Selain itu, memberikan pelatihan yang sistematis dan berkesinambungan bagi guru untuk mengajar muatan lokal. Guru dapat diberikan pelatihan pengajaran muatan lokal dengan cara-cara seperti loka karya, seminar, atau pelatihan daring. Selanjutnya, guru juga diberikan kesempatan untuk menerima masukan atau feedback dari guru lain serta tim pengembangan kurikulum. Dengan demikian, guru dapat meningkatkan keterampilan dan keahlian mereka dalam mengajar muatan lokal.

Kedua, diperlukan upaya guru dalam mengintegrasikan muatan lokal ke dalam kurikulum dengan cara yang lebih substansial, sehingga siswa dapat melihat nilai dan relevansi dari apa yang mereka pelajari. Ini bisa dilakukan dengan mengaitkan muatan lokal dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa melalui metode pembelajaran yang bervariasi tiap pertemuannya. Misalnya, guru dapat menggunakan metode Role Play di mana siswa berperan sebagai penjual di pasar tradisional dan menggunakan bahasa Jawa untuk berkomunikasi dengan pelanggan.

Dalam metode tersebut, siswa dapat melihat nilai dan relevansi dari bahasa Jawa dalam kehidupan sehari-hari mereka. Guru juga dapat menggunakan metode Study Case di mana siswa dibuat untuk menganalisis kasus yang terkait dengan budaya Jawa dan membuat laporan yang berisi analisis dan solusi. Dengan demikian, diharapkan dapat tercipta lingkungan belajar yang menggiatkan dan memotivasi siswa untuk aktif belajar bahasa Jawa melalui mata pelajaran muatan lokal di sekolah, sehingga dapat membantu dalam pelindungan dan pelestarian bahasa Jawa.

Referensi

Latifah, N. N. (2019). Pembelajaran Muatan Lokal Bahasa Jawa dalam Pelaksanaan Kurikulum 2013 di SDN Sambiroto 01. JPD: Jurnal Pendidikan Dasar, 10(1), 149–158.

Wilman, J. (2023, Januari 11) Pembahasan Muatan Lokal (Mulok) pada Kurikulum Merdeka Belajar. Quipper. https://www.quipper.com/id/blog/info-guru/mulok-kurikulum-merdeka/

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BIOGRAFI AHMAD TOHARI

[Kanal Informasi]: Lomba Pesta Hardiknas 2024

[Pengumuman]: Panitia Agregasi 2024